Senin, 31 Januari 2011

Suicidal Sinatra


Terbentuk di Bali pada tahun 1996 awalnya dengan mengusung nama S.O.S. (Soul Of Speed) yang jika dilihat dari namanya tegas menyiratkan genre musik yang diminati yaitu Heavy Metal utamanya Helloween.
Pada fajar 2001 S.O.S. pelan-pelan bergeser dari genre Heavy Metal menuju Rockabilly a la Living End serta diramu dengan Psychobilly tipikal Tiger Army & Reverend Horton Heat (campur sari ini mereka istilahkan sebagai “Rockabilly Nu Skool”). Sampai kemudian 14 Februari 2004 S.O.S. merilis album indie pertama bertajuk “Valentine Ungu”. Album yang berisikan 8 lagu ini seakan mendeklarasikan S.O.S. telah resmi pindah jalur ke Rockabilly Nu Skool.
Album Valentine Ungu sendiri mendapat respon positif dari pasar, dimana 700 keping segera saja ludes habis terjual. Beberapa media massa nasional memberi komentar cukup baik terhadap Valentine Ungu. Sementara komunitas Indie di Jakarta sempat pula mencicipi dahsyatnya performa mereka saat mengguncang GOR Jakarta Utara dan hajatan kampus Universitas Sahid pada pertengahan 2004 silam.
Untuk melengkapi perubahan identitas musikal dari Heavy Metal ke Rockabilly Nu Skool maka pada 16 Agustus 2004 S.O.S. formal berubah wujud menjadi SUICIDAL SINATRA (terjemahan bebasnya : Frank Sinatra dalam versi yang lebih garang/nekat ). Sinatra—dengan personil terakhir Opix Sinatra (biduan, gitar pendamping), Leo Sinatra (gitar utama), Kappe Sinatra (bass betot), Ajie Sinatra (drum)—di saat hampir bersamaan pada akhir 2004, menyabet gelar prestisius sebagai kelompok musik terbaik di ajang Indie bergengsi “Skool Of Rock” sesi ke II yang diselenggarakan oleh Hard Rock Café, Bali.
Tepat setahun setelah dirilisnya Valentine Ungu, pada Februari 2005 Sinatra menerbitkan mini album ”Love Songs & Stinkin’ Cheese” dengan 5 tembang cadas bertempo sedang: “White Shoes”, “No Money No Honey”, “Can’t Be Ur Man”, “Going Old With You”, serta “Kentang”.

Eksistensi “Love Songs & Stinkin’ Cheese” ternyata sanggup menculik perhatian jajaran media nasional berpengaruh mulai dari Hai, Trax, Ripple, hingga Rolling Stone. Malah Rolling Stone secara tegas memberi Sinatra gelar terhormat dengan menempatkan Sinatra sebagai “Artists to Watch” di salah satu edisinya. Ekspose yang demikian gencar akhirnya menggugah para event organizer untuk mengundang Sinatra tampil dalam konser-konser bergengsi. Yang patut dicatat di antaranya adalah kehadiran mereka sebagai band panggung utama di Soundrenaline Bali pada Agustus 2005. Sementara single “White Shoes” penetrasinya cukup jauh hingga mencapai Jepang. Single tersebut disertakan dalam album kompilasi “Tropicalize II” disatukan dengan artis-artis besar macam Pennywise & Jack Johnson. Dan videoklip “White Shoes” juga menorehkan jejak prestasi fenomenal dengan meraih juara pertama dan bertahan hingga beberapa minggu di chart videoklip indie Global TV.
Pada 2007 Sinatra akhirnya merilis album–yang frontal mengekspresikan pilihan genre mutakhir mereka—bertajuk “Boogie Woogie Psychobilly”. Benar, Sinatra telah mengukuhkan dirinya sebagai band pioneer Psychobilly di Indonesia.
Boogie-Woogie-Psychobilly… Drink whiskey and cheap Martini…

Minggu, 30 Januari 2011

Abu Nawas Akan Dihukum Pancung

Cita-cita atau obsesi menghukum Abu Nawas sebenarnya masih bergolak, namun Baginda merasa kehabisan akal untuk menjebak Abu Nawas. Seorang penasihat kerajaan kepercayaan Baginda Raja menyarankan agar Baginda memanggil seorang ilmuwan-ulama yang berilmu tinggi untuk menandingi Abu Nawas. Pasti masih ada peluang untuk mencari kelemahan Abu Nawas. Menjebak pencuri harus dengan pencuri. Dan ulama dengan ulama.
Baginda menerima usul yang cemerlang itu dengan hati bulat. Setelah ulama yang berilmu tinggi berhasil ditemukan, Baginda Raja menanyakan cara terbaik menjerat Abu Nawas. Ulama itu memberi tahu cara-cara yang paling jitu kepada Baginda Raja. Baginda Raja manggut-manggut setuju. Wajah Baginda tidak lagi murung. Apalagi ulama itu menegaskan bahwa ramalan Abu Nawas tentang takdir kematian Baginda Raja sama sekali tidak mempunyai dasar yang kuat. Tiada seorang pun manusia yang tahu kapan dan di bumi mana ia akan mati apalagi tentang ajal orang lain.
Ulama andalan Baginda Raja mulai mengadakan persiapan seperlunya untuk memberikan pukulan fatal bagi Abu Nawas. Siasat pun dijalankan sesuai rencana. Abu Nawas terjerembab ke pangkuan siasat sang ulama. Abu Nawas melakukan kesalahan yang bisa menghantarnya ke tiang gantungan atau tempat pemancungan. Benarlah peribahasa yang berbunyi sepandai-pandai tupai melompat pasti suatu saat akan terpeleset. Kini, Abu Nawas benar-benar mati kutu. Sebentar lagi ia akan dihukum mati karena jebakan sang ilmuwan-ulama. Benarkah Abu Nawas sudah keok? Kita lihat saja nanti.
Banyak orang yang merasa simpati atas nasib Abu Nawas, terutama orang-orang miskin dan tertindas yang pernah ditolongnya. Namun derai air mata para pecinta dan pengagum Abu Nawas tak.akan mampu menghentikan hukuman mati yang akan dijatuhkan. Baginda Raja Harun Al Rasyid benar-benar menikmati kemenangannya. Belum pernah Baginda terlihat seriang sekarang. Keyakinan orang banyak bertambah mantap. Hanya satu orang yang tetap tidak yakin bahwa hidup Abu Nawas akan berakhir setragis itu, yaitu istri Abu Nawas.
Bukankah Alla Azza Wa Jalla lebih dekat daripada urat leher. Tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah Yang Maha Gagah. Dan kematian adalah mutlak urusanNya. Semakin dekat hukuman mati bagi Abu Nawas; orang banyak semakin resah. Tetapi bagi Abu Nawas malah sebaliknya. Semakin dekat hukuman bagi dirinya, semakin tenang hatinya. Malah Abu Nawas nampak setenang air danau di pagi hari. Baginda Raja tahu bahwa ketenangan yang ditampilkan Abu Nawas hanyalah merupakan bagian dari tipu dayanya Tetapi Baginda Raja telah bersumpah pada diri sendiri bahwa beliau tidak akan terkecoh untuk kedua kalinya.
Sebaliknya Abu Nawas juga yakin, selama nyawa masih melekat maka harapan akan terus menyertainya. Tuhan tidak mungkin menciptakan alam semesta ini tanpa ditaburi harapan-harapan yang menjanjikan. Bahkan dalam keadaan yang bagaimanapun gentingnya. Keyakinan seperti inilah yang tidak dimiliki oleh Baginda Raja dan ulama itu. Seketika suasana menjadi hening, sewaktu Baginda Raja memberi sambutan singkat tentang akan dilaksanakan hukuaman mati atas diri terpidana mati Abu Nawas. Kemudian tanpa memperpanjang waktu lagi Baginda Raja menanyakan permintaan terakhir Abu Nawas.
Dan pertanyaan inilah yang paling dinanti-nantikan Abu Nawas. “Adakah permintaan yang terakhir”
“Ada Paduka yang mulia.” jawab Abu Nawas singkat.
“Sebutkan.” kata Baginda.
“Sudilah kiranya hamba diperkenankan memilih hukuman mati yang hamba anggap cocok wahai Baginda yang mulia.” pinta Abu Nawas.
“Baiklah.” kata Baginda menyetujui permintaan Abu Nawas…
“Paduka yang mulia, yang hamba pinta adalah bila pilihan hamba benar hamba bersedia dihukum pancung, tetapi jika pilihan hamba dianggap salah maka hamba dihukum gantung saja.” kata Abu Nawas memohon.
“Engkau memang orang yang aneh. Dalam saat-saat yang amat genting pun engkau masih sempat bersenda gurau. Tetapi ketahuilah bagiku segala tipu muslihatmu hari ini tak akan bisa membawamu kemana-mana.” kata Baginda sambil tertawa.
“Hamba tidak bersenda gurau Raduka yang mulia.” kata Abu Nawas bersungguh-sungguh. Baginda main terpingkal-pingkal. Belum selesai Baginda Raja tertawa-tawa, Abu Nawas berteriak dengan nyaring.
“Hamba minta dihukum pancung!” Semua yang hadir kaget. Orang banyak belum mengerti mengapa Abu Nawas membuat keputusan begitu. Tetapi kecerdasan otak Baginda Raja menangkap sesuatu yang lain. Sehingga tawa Baginda yang semula berderai-derai mendariak terhenti. Kening Baginda berkenyit mendengar ucapan Abu Nawas. Baginda Raja tidak berani menarik kata-katanya karena disaksikan oleh ribuan rakyatnya. Beliau sudah terlanjur mengabulkan Abu Nawas menentukan hukuman mati yang paling cocok untuk dirinya.
Kini kesempatan Abu Nawas membela diri. “Baginda yang mulia, hamba tadi mengatakan bahwa hamba akan dihukum pancung. Kalau pilihan hamba benar maka hamba dihukum gantung. Tetapi di manakah letak kesalahan pilihan hamba sehingga hamba harus dihukum gantung. Padahal hamba telah memilih hukuman pancung?” Olah kata Abu Nawas memaksa Baginda Raja dan ulama itu tercengang. Benar-benar luar biasa otak Abu Nawas ini. Rasanya tidak ada lagi manusia pintar selain Abu Nawas di negeri Baghdad ini.
“Abu Nawas aku mengampunimu, tapi sekarang jawablah pertanyaanku ini. Berapa banyakkah bintang di langit?”
“Oh, gampang sekali Tuanku.”
“lya, tapi berapa, seratus juta, seratus milyar?” tanya Baginda.
“Bukan Tuanku, cuma sebanyak pasir di pantai.”
“Kau ini… bagaimana bisa orang menghitung pasir di pantai?”
“Bagaimana pula orang bisa menghitung bintang di langit?”
“Hahahahaha…! Kau memang penggeli hati. Kau adalah pelipur laraku. Abu Nawas mulai sekarang jangan segan-segan, sering-seringlah datang ke istanaku. Aku ingin selalu mendengar lelucon-leluconmu yang baru!”
“Siap Baginda…!” Lalu Baginda memerintahkan bendahara kerajaan memberikan sekantong uang kepada manusia terlucu di negerinya itu.

Abunawas-Umum

Satu hari Sultan merasa sungguh boring n bete abis, jadi dia tanya
Bendahara,

"Bendahara, siapa paling pandai saat ini?"
"Abunawas" jawab Bendahara.

Sultan pun manggil Abunawas n baginda bertitah: "Kalau kamu pandai, coba
buat satu cerita seratus kata tapi setiap kata mesti dimulai dengan huruf'
'J'
Terperanjat Abunawas, tapi setelah berfikir, diapun mulai bercerita:

Jeng Juminten janda judes, jelek jerawatan, jari jempolnya jorok.
Jeng juminten jajal jualan jamu jarak jauh Jogya-Jakarta. Jamu jagoannya:
jamu jahe.

"Jamu-jamuuu..., jamu jahe-jamu jaheee...!" Juminten jerit-jerit jajakan
jamunya, jelajahi jalanan. Jariknya jatuh, Juminten jatuh jumpalitan. Jeng
Juminten jerit-jerit: "Jarikku jatuh, jarikku jatuh..."

Juminten jengkel, jualan jamunya jungkir-jungkiran, jadi jemu juga.
Juminten jumpa Jack, jejaka Jawa jomblo, juragan jengkol, jantan, juara
judo.
Jantungnya Jeng Juminten janda judes jadi jedag-jedug. Juminten janji jera
jualan jamu, jadi julietnya Jack.

Johny justru jadi jelous Juminten jadi juliet-nya Jack. Johny juga jejaka
jomblo, jalang, juga jangkung. Julukannya, Johny Jago Joget.
"Jieehhh, Jack jejaka Jawa, Jum?" joke-nya Johny. Jakunnya jadi
jungkat-jungkit jelalatan jenguk Juminten. "Jangan jealous, John..." jawab
Juminten.

Jumat, Johny jambret, jagoannya jembatan Joglo jarinya jawil-jawil
jerawatnya Juminten. Juminten jerit-jerit: "Jack, Jack, Johny
jahil,jawil-jawil!!!" Jack jumping-in jalan, jembatan juga jemuran. Jack
jegal Johny, Jebreeet..., Jack jotos Johny. Jidatnya Johny jenong, jadi
jontor juga jendol... jeleekk.

"John, jangan jahilin Juminten...!" jerit Jack...

Jantungnya Johny jedot-jedotan, "Janji, Jack, janji... Johnny jera..."
jawab Johny.

Juni, Jack jadikan Johny join jualan jajajan jejer Juminten. Jhony jadi
jongosnya Jack-Juminten, jagain jongko, jualan jus jengkol jajanan jurumudi
jurusan Jogja-Jombang, julukannya Jus Jengkol Johny "jolly-jolly jumper."

Jumpalagi, jek...!!!

Abu Nawas Dan Nazar Seorang Saudagar

“Hai istriku sebaiknya kita bernazar kepada Allah”, kata seorang saudagar kepada istrinya, “Jika kita diberi anak laki-laki, aku akan memotong kambing yang besar dan lebar tanduknya sejengkal, kemudian dagingnya kita sedekahkan kepada fakir miskin.”
Rupanya sang saudagar tersebut sudah sangat merindukan lahirnya seorang anak, karena telah bertahun-tahun berumah tangga tidak kunjung diberi momongan oleh Tuhan. Kemudian ia menyuruh beberapa orang untuk mencari kambing besar bertanduk selebar jengkal, dengan pesan, “Beli saja kambing itu berapapun harganya, tidak usah ditawar lagi.”
Ternyata usaha itu gagal total. Sulit memperoleh kambing dengan lebar tanduk sejengkal, yang ada paling-paling selebar tiga-empat jari. Akibatnya saudagar itu susah, tidurpun tidak nyenyak. Terpilir olehnya untuk mengganti nazarnya itu dengan sepuluh ekor kambing sekaligus. Yang penting kan kambing, bukan binatang lain. Namun rencana itu akan dikonsultasikan dulu dengan beberapa orang penghulu di negeri itu.
Ketika sampai di rumah seorang penghulu ternyata rumah itu sedang digunakan sebagai tempat pertemuan para penghulu seluruh negeri. “Apa maksud kedatangan adan kemari?” tanya penghulu yang tertua.
Ya tuan Kadi.” Jawab si saudagar itu. “Hamba mempunyai nazar yang sulit dipecahkan,” lalu diutarakan kendala yang dihadapi dan rencana penggantiannya.
Ternyata para Kadi itu tidak berani memberikan rekomendasi untuk mengganti nazar. Mereka bahkan menyuruh saudagar itu untuk terus mencari kambing bertanduk sejengkal dimanapun dan kemana pun, sesuai dengan nazar semula. “Kami semua tidak berani menyuruh menggantinya dengan yang lain-lain.”
Kenyataan itu semakin bertambah berat beban saudagar itu. Ia pun mohon diri pulang ke rumah. Pada suatu hari ia mendapat kabar, bahwa di Negeri Baghdad ada seorang Raja yang adil, arif dan bijaksana. Namanya Sultan Harun Al-Rasyid. Maka ia pun pasang niat menghadap Sultan ke Bagdad. Sesampai disana kebetulan baginda sedang duduk di Balairung bersama beberapa orang menteri.
“Hai orang muda, engkau berasal dari mana?” tanya baginda setelah melihat kedatangan saudagar muda ini.
“Ya Tuanku Syah Alam,” jawab Saudagar muda. “Ampun beribu ampun, adapun patik ini berasal dari Negeri Kopiah.”
“Apa maksudmu datang kemari, ingin berdagang,” tanya baginda Sultan.
“Ya tuanku, patik datang kemari ingin mengadukan nasib hamba ke bawah duli yang dipertuan,” jawab si saudagar.
“Katakan maksudmu, supaya bisa kudengar,” titah baginda Sultan. Maka diceritakanlah perihal nazar itu sampai kepada keputusan para penghulu negeri kopiah dan niatnya menemui baginda Sultan di Bagdad. “Selanjutnya hamba mohon petuah dan nasehat Baginda agar hamba dapat melepas nazar hamba itu dengan sempurna,” tutur saudagar itu dengan nada menghiba.
“Baikah,” kata Baginda, “Datanglah besok pagi, Insya Allah aku dapat memberi jalan keluar.”
Saudagar itu pun mohon pamit dengan hati berbunga-bunga kembali ketempat penginapannya.
Alkisah, Sultan pun bingung memikirkan nazar Saudagar itu, sepanjang siang dan malam ia tidak dapat memicingkan matanya, dengan apa nazar itu akan di bayar bila kambing bertanduk sejengkal tidak di dapat juga. Diganti dengan yang lain, haram hukumnya. Malam harinya beliau mengumpulkan para Kadi, dan alim ulama di istananya. Kepada mereka beliau menyatakan keresahan hatinya sehubungan dengan nazar saudagar dari kopiah itu. “Tolong berikan pertimbangan kepadaku malam ini juga karena aku sudah terlanjur berjanji kepadanya untuk menerimanya menghadap esok pagi.” Titah Baginda Sultan. “Atau aku akan mendapat malu besar.”
Suasana balairung pun hening, sunyi senyap berkepanjangan. Mereka termenung dan terpekur memikirkan titah Sultannya. Namun tidak juga ditemukan jalan keluarnya.
“Ya Tuanku Syah Alam,” kata salah seorang yang tertua di antara mereka. “Tidak ada hukumnya, baik menurut kitab maupun logika, bahwa nazar itu boleh diganti dengan barang lain,” setelah itu satu persatu mereka mohon diri meninggalkan balairung dan pertemuan pun bubar.
Baginda lalu masuk istana, mau tidur, tetapi mata itu tidak mau diajak kompromi, karena otak masih terfokus pada masalah nazar dan malu besar yang akan dihadapinya esok pagi. Menjelang subuh baginda pun teringat kepada Abu Nawas. Tidak ada manusia yang dapat memutuskan hal ini selain Abu Nawas,” pikir Baginda dengan suka cita. Setelah itu barulah baginda dapat memicingkan matanya, tidur pulas sampai pagi.
Begitu bangun, diutuslah penggawa memanggil Abu Nawas. Setelah Abu Nawas tiba dihadapannya, baginda pun mengutarakan perihal nazar saudagar dari negeri Kopiah itu dan semua usaha yang sudah ditempuhnya serta malu besar yang akan didapatnya sebentar lagi, karena para Kadi, dan orang alim seluruh negeri, tidak dapat memberi jalan keluar. Apalagi sebentar lagi saudagar dari kopiah itu akan menghadap ke Istana. “Apa pendapatmu tentang hal itu?” tanya baginda sultan dengan sorot mata ingin tahu jawaban Abu Nawas.
“Ya tuanku Syah Alam,” jawab Abu Nawas ringan. “Janganlah tuanku bersusah hati, jika tuanku percaya Insya Allah hamba dapat menyelesaikan perkara ini.”
Tak berapa lama kemudian balairung pun dipenuhi orang-orang yang ingin tahu keputusan Baginda Sultan tentang nazar saudagar dari negeri kopiah itu. Baginda memanggil saudagar tersebut dan memerintahkan Abu Nawas memecahkan masalah itu. “Hai saudagar, bawalah kemari anakmu, dan seekor kambing yang besar badannya,” kata Abu Nawas.
Mendengar perkataan Abu Nawas itu semua orang terheran-heran, termasuk Baginda Sultan dan si saudagar itu. “Apa maksud Abu Nawas kali ini?” pikir mereka.
Si saudagar itu menyatakan kesediaaannya membawa anak dan seekor kambing paling besar serta mohon pamit pulang ke negeri kopiah. Baginda Sultan masuk Istana, melanjutkan tidurnya, dan pertemuan pagi itu pun bubar.
Sesuai dengan janjinya, saudagar itu pun datang kembali ke Bagdad beberapa hari kemudian. Ia membawa istri, anak dan seekor kambing, langsung menghadap Sultan di Istana.
“Datang juga engkau kemari, hai saudagar,” kata Baginda Sultan. “Tunggulah sebentar, akan aku kumpulkan penghulu dan rakyat,” kemudian Baginda menyuruh memanggil Abu Nawas.
Akan halnya Abu Nawas, ketika mengetahui di jemput ke Istana, ia pura-pura sakit. Baginda Sultan yang diberi tahu hal itu memaksa agar Abu Nawas di bawa dengan kereta Kerajaan. Maka berangkatlah Abu Nawas ke Istana dengan mengendarai kereta kencana yang ditarik dua ekor kuda.
“Mengapa kamu terlambat datang kemari?” tanya Baginda Sultan.
“Ya tuanku, patik terlambat datang karena patik sakit kaki,” jawab Abu Nawas.
“Hai Abu Nawas…” kata Sultan. “Saat ini telah datang kemari saudagar itu bersama istri, anak dan seekor kambing yang besar badannya. Coba selesaikan masalah ini dengan baik.”
“Baiklah,” kata Abu Nawas, “Akan hamba selesaikan masalah ini.” Bukan main senang hati Baginda mendengar jawaban itu.
Abu Nawas menarik kambing dan anak saudagar itu. Jari tangan kiri anak tersebut dijengkalkan ke tanduk kambing dan ternyata sama panjangnya. Baginda Sultan dan seluruh yang hadir di balairung heran memikirkan ulah Abu Nawas.
“Ya tuanku, hamba mohon ampun,” kata Abu Nawas. “Jika hamba tidak salah ingat, saudagar itu mengatakan bahwa lebar tanduk kambing itu sejengkal. Karena yang dinazarkan anak ini, jari anak inilah yang hamba jengkalkan ke tanduk kambing itu, dan ternyata pas benar. Jadi kambing ini boleh disembelih untuk membayar nazar. Itulah pendapat hamba. Jika salah, hamba serahkan keputusannya kepada Baginda dan semua orang yang hadir disini.”
“Pendapat Abu Nawas aku kira benar,” kata Baginda Sultan. Dengan sangat meyakinkan.
Bukan main senang hati saudagar itu karena ia dapat membayar lunas nazarnya. Maka diberikanlah hadiah kepada Abu Nawas berupa uang seratur dirham, kemudian ia mohon pamit kepada Sultan, pulang ke negerinya.

Abu Nawas dan Menteri Yang Dzalim(Bag. 2-Habis)

“Sudahkah kamu menerima pembayaran harga lembumu?” tanya Abu Nawas kepada anak muda pada malam harinya.
“Hamba diperdaya menteri itu,” jawab si pemuda dengan wajah nelangsa. “Lembu hilang, uang melayang.”
“Coba ceritakan kata Abu Nawas. “Aku kira jual beli berjalan lancar sehingga aku cepat-cepat pergi karena ada urusan lain.”
Maka diceritakanlah kejadian itu dengan nada mendongkol. “Sialan menteri itu,” ujar si pemuda.
“Oh begitu, kata Abu Nawas. “Jangan sedih, Insya Allah aku akan membantu.” Kemudian Abu Nawas minta si pemuda bersedia melaksanakan rencana yang telah disusunnya untuk membunuh si menteri zalim itu.
Keesokan harinya jam tujuh malam seorang wanita cantik berhenti di depan rumah si menteri zalim, ia tampak membuang sesuatu yang dicabut dari kakinya.
“Hai Adinda, dari mana gerangan asalmu?” tiba-tiba muncul suara dari sudut yang gelap. Suara itu ternyata milik menteri yang saat itu juga sedang berjalan-jalan di depan rumahnya. Hatinya amat girang begitu melihat wajah cantik yang tiba-tiba muncul di depan matanya.
“Hamba orang desa, tadi ketika berjalan bersama suami, kaki hamba tertusuk duri. Hamba terpaksa berhenti untuk menarik duri dari kaki, suami hamba tidak mau menunggu dan hamba ditinggal di sini. Hamba tidak tahu jalan pulang ke rumah,” kata si perempuan itu dengan penuh iba, lalu ia pun menangis.
“Jika Adinda mau, silahkan mampir ke rumah hamba sambil menunggu suami Adinda. Barangkali dia sekarang sedang mencari Adinda,” kata si menteri. “Jangan takut.”
“Hamba takut kepada istri dan pelayan-pelayan tuan,” kata perempuan muda itu.
“Kalau begitu, silahkan Adinda duduk di sini, Kanda akan menyuruh istri pergi ke rumah ibunya bersama pelayan-pelayan itu,” kata si menteri. Maka sang menteri pun tergopoh-gopoh masuk ke rumahnya.
“Hai Adinda, katanya, “Sekarang ini sebaiknya Adinda pergi ke rumah ibu karena sudah lama rasanya Adinda tidak kesana.” “Jika demikian kehendak Kakanda, baiklah hamba kesana,” jawab istri si menteri.
“Hai Adinda, kata si menteri kepada perempuan muda itu setelah rumah kosong. “Silahkan masuk ke rumah hamba, karena istri dan semua pelayan telah pergi.”
“Baiklah, katanya sambil mengikuti langkah si menteri. Di dalam rumah dilihatnya tali gantungan seperti yang diceritakan Abu Nawas. Menteri itu mendorong si perempuan muda ke kamar dan mengajak tidur, namun ia mencoba menolak sambil merajuk.
“Sebelum kita tidur, cobalah Kakanda bergantung sebentar pada tali itu,” rayunya. “Seumur hidup hamba belum pernah melihat orang bergantung ditali.”
Karena terdorong oleh nafsu syahwat yang menggelora, permintaan itu dituruti si menteri. “Tolong Adinda pegang tali gantungan ini kuat-kuat, jangan dilepaskan,” katanya.
Menteri itu kemudian memasukkan badannya kedalam tali gantungan, setelah itu si perempuan gadungan melepaskan tali yang dipegangnya sehingga badan si menteri menggantung dengan posisi kaki di atas dan kepala di bawah. Si perempuan pun mengeluarkan sebuah pentungan lalu memukul badan dan kepala si menteri zalim itu sambil berujar. “Hai menteri zalim, aku bukan perempuan, akulah pemilik lembu yang kau tipu, sekarang terimalah pembalasanku. Aku minta harga lembuku, ayo bayar… bayar” Bak – Bik – Buk… darah segar mengalir dari mulut, hidung dan telinga menteri itu, sehingga ia tidak sadarkan diri. “Mampuslah kau,” teriak si pemuda.
Mengira bahwa si menteri sudah mati, masuklah perempuan palsu itu ke dalam rumah, dan menjarah barang-barang yang ada, sesudah itu barulah ia pulang dengan menggondol harta kekayaan si menteri zalim
Di tempat lain si istri menteri mendapat firasat buruk, hatinya berebar-debar keras. “Ada apa gerangan di rumahku?” pikirnya dalam hati, maka dengan bergegas pulanglah ia ke rumah.
Setiba di rumah ia menjerit-jerit histeris lantaran dilihatnya suaminya tergantung pingsan dengan kepala berdarah dan harta bendanya ludes. Ketika tali gantungan dilepas, ternyata suaminya masih bernafas, meski terengah-engah. Kemudian dipercikkan air mawar ke sekujur tubuhnya dan kepala menteri hingga siuman dan membuka matanya.
“Ya Kakanda……” ucap si istri sambil menangis meratapi nasib suaminya. “Kenapa Kanda bisa begini?”
Si menteri tidak bisa segera menjawab pertanyaan itu, tapi lambat laun setelah kesadarannya mulai pulih ia pun bisa menceritakan semua yang dialaminya. Setelah itu ia jatuh sakit.
Abu Nawas khawatir demi mendengar kabar itu, buru-buru ditemui si anak muda itu di rumahnya. “Mengapa tidak kamu matikan dia?” tanya Abu Nawas. “Bukankah aku sudah pesan, jangan kamu tinggal sebelum dia mati. Sekarang sebaiknya kamu tambah penyakit menteri itu supaya mati.
“Bagaimana caranya?” tanya si pemuda, ia tidak kalah khawatir dengan Abu Nawas.
“Berpura-puralah menjadi dukun, karena saat ini menteri itu sedang mencari dukun, kata Abu Nawas. “Selanjutnya usahakan dengan caramu sendiri agar rumah itu kosong, dan setelah kosong pukulilah menteri itu sampai mati, sebelum mati, jangan kamu tinggalkan dia.”
Esok harinya datanglah seorang kakek tua bertongkat ke rumah menteri itu, ia memakai jubah panjang dan serban putih dengan langkah terbungkuk-bungkuk.
“Tuan, tanya seorang pelayan menteri itu, siapakah tuan ini?
“Aku ini dukun,” jawabnya, “Kenapa kamu menyapa aku di tengah jalan seperti ini, tidak sopan berbuat seperti itu kepada orang tua.”
“Maaf,” kata si pelayan, “Hamba pelayan menteri, beliau saat ini sedang sakit dan perlu dukun, jika tuan suka, silahkan masuk ke rumahnya.” “Ya tuan dukun, obatilah hamba ini,” kata si menteri itu setelah dukun palsu itu duduk di samping pembaringannya. “Hamba sakit…” lama-kelamaan suaranya hilang.
“Moga-moga hamba bisa mengobati tuan,” jawab si dukun. “Tapi bisakah pelayan-pelayan itu disuruh mencari daun kayu lengkap dengan akarnya. Daun itu memang sulit dicari tetapi banyak gunanya untuk penyembuhan tuan.”
Menteri itu kemudian menyuruh tiga orang pelayan untuk memenuhi permintaan dukun. Tak lama kemudian dukun itu berkata lagi, “Maaf, hamba lupa, adalagi daun kayu yang lain yang hamba butuhkan. Tolong pelayan yang lain disuruh mencari.” Maka menteri itu pun menyuruh pelayan lainnya sehingga rumah itu kosong karena anak dan istri menteri itu sabelumnya sudah pergi ke luar rumah.
Setelah yakin bahwa rumah itu kosong, diambil sebuah pentungan dan dipukulnya sekujur badan menteri itu sampai babak belur dan mengeluarkan darah dari hidung, telinga dan mulunya. “Hai menteri, aku bukan dukun, tapi pemilik lembu yang kamu tipu. Mana bayaranmu!” katanya.
Menteri itu pingsan dan tidak bernafas lagi. Dikiranya si menteri sudah mati, cepat-cepat dukun itu pergi, karena khawatir para pelayan itu segera kembali. “Puas hatiku karena menteri itu sudah mati,” pikir si dukun palsu.
Kira-kira satu jam kemudian para pelayan itu kembali dengan tangan hampa diikuti oleh istri menteri. Mereka cemas melihat tuannya tergeletak dan dukun itu tidak ada lagi. Lalu istri menteri itu menyiram badan suaminya dengan air mawar yang diminumkan seteguk ke mulutnya. Tak lama kemudian menteri itu sadar namun belum bisa bicara.
“Ya istriku, orang itu bukan dukun, tetapi yang punya lembu itu juga,” kata si menteri setelah sadar. “Panggil orang-orang alim dan kabarkan kepada mereka bahwa aku sudah mati. Masukkan badanku ke dalam keranda bersama sekerat batang pisang yang dibungkus kain putih sebagaimana mayat laiknya. Tetapi yang dimasukkan ke liang lahat nanti adalah batang pisang tadi, sedang badanku tetap dalam keranda dan dibawa pulang kembali. Dengan demikian orang yang punya lembu itu tidak akan datang lagi kemari. Kapan-kapan bila aku sembuh akan kucari orang itu untuk membuat perhitungan terakhir.”
Semua pesan itu dikerjakan oleh istri menteri itu dengan baik. Tetap dasar Abu Nawas, ia berhasil mencium akal busuk itu. Maka ditemuinya si pemilik lembu. “Kenapa tidak kamu pukul sampai mati menteri itu?” bertanya Abu Nawas.
“Orang itu sudah mati,” kata si pemuda. “Ia tidak bergerak dan tidak bernafas lagi, karena darah keluar dari hidung dan telinganya.”
“Saat ini menteri itu masih hidup tapi pura-pura mati,” kata Abu Nawas. Lalu diceritakannya rencana menteri tadi dan rencananya sendiri agar menteri itu benar-benart mati, sebab jika ia masih hidup juga aku tidak dapat menjamin nasibmu kelak,”
“Hai saudara, maukan Anda aku bayar untuk menaiki kuda yang cepat larinya?” kata Abu Nawas kepada seorang joki yang berbadan tinggi tegap, dekatilah kuburan menteri itu, jika jenazah sudah sampai ke liang kubur, berteriaklah keras-keras, “Akulah pemilik lembu”, kemudian paculah kudamu sekencang-kencangnya. “Setuju?” “Nah, ini uangnya, pergilah.”
Esok harinya iring-iringan jenazah menteri itu berangkat dari rumah lengkat dengan orang besar, orang alim, sanak keluarga, dan sahabat almarhum. Begitu sampai dekat liang lahat, terdengar teriakan “Akulah pemilik lembu”.
Suasana di kuburan menjadi kacau, karena para pelayat kemudian berlarian ingin mengejar orang yang berteriak tadi. Namun apa lacur, orang yang dikejar sudah kabur dengan kudanya, sementara keranda ditinggal tidak terurus. Pada saat itulah si pemuda pemilik lembu yang sebenarnya muncul.
Rupanya ia ikut dalam barisan pelayat. “Hai menteri, akulah pemilik lembu yang kamu tipu, sekarang saatnya kamu harus membayar lunas utangmu. Tidak akan kubiarkan nyawamu tetap bersarang di badanmu.” Lalu di pukulnya menteri itu sekuat tenaga hingga benar-benar mati. Setelah itu ia pulang ke rumah.
Akan halnya joki tadi, akhirnya ia terkejar dan tertangkap dan kemudian dibawa ke kuburan menteri. Upacara pemakaman yang tadinya hanya pura-pura menjadi upacara sungguhan karena menteri yang diusung di dalam keranda itu benar-benar mati, badannya hancur dan tidak bernafas lagi tanpa diketahui siapa pelakunya. Hal itu mengagetkan seluruh pelayat.
Setelah itu orang-orang pulang ke rumah masing-masing dengan hati masygul dan heran. Sedangkan si joki dibawa oleh anak-anak menteri kerumahnya. “Apa sebab kamu berteriak dan mengaku sebagai orang yang punya lembu?” tanya mereka.
“Aku tidak tahu sebabnya, aku hanya diupah untuk berteriak seperti itu,” jawab si joki.
“Siapa yang mengupah kamu?” Tanya anak-anak meteri. “Abu Nawas,” jawab si joki.
“Hai Abu Nawas,” kata anak menteri setelah menemukan Abu Nawas, kenapa kamu mengupah untuk berteriak seperti itu dan menganiaya bapakku?”
“Menganiaya bapakmu?” Abu Nawas balik bertanya. “Bertanyalah yang benar.”
“Engkau suruh orang itu berteriak mengaku sebagai orang yang punya lembu, maka kami kejar dia, karena yang menyebabkan bapakku sakit tiada lain adalah orang yang punya lembu, bukan dari Allah.
“Oh begitu,” kata Abu Nawas sambil senyum kecil. “Jadi kamu tidak tahu bahwa orang yang punya lembu itu sudah ditakdirkan Allah untuk berbuat demikian karena bapakmu terlalu zalim, penipu, penganiaya, pengisap darah orang kecil, dan sebagainya. Rasanya tidak usah diperpanjang masalah ini, yang akan membuatmu malu besar, lebih baik kamu doakan saja agar bapakmu diampuni Allah.”
Anak menteri itu terdiam, sebab ia tahu semua perbuatan bapaknya. “Barangkali memang demikian takdir bapakku,” pikirnya dalam hati sambil berjalan pulang ke rumah.
Warga kota itu – termasuk orang yang punya lembu – merasa senang dan tenang hatinya karena tidak ada lagi orang yang akan berbuat zalim.
Sedangkan Abu Nawas segera kembali ke rumahnya. “Niatku sudah terlaksana,” pikirnya. “Siapa tahu barangkali Khalifah Harun Al-Rasyid sedang menanti kedatanganku ke istana beliau, lagi pula aku juga sudah sangat rindu kepada Baginda Sultan.”

Selasa, 18 Januari 2011

"HEAVEN"

Baby you're all that I want
When you're lying here in my arms
I'm finding it hard to believe
We're in heaven

Ooh thinking about how young he is It was only you and me
We were young and wild and free
Now, nothing can take you away from me
We've been down that road before
But that's over now
You keep me coming back for more

Baby, you're all that I want
When you're lying here in my arms
I'm finding it hard to believe
We're in heaven
And love is all that I need
And I found it there in your heart
It isn't too hard to see
We're in heaven
We're in heaven

Now, nothing can change what you mean to me
There's a lot that I could say
But just hold me now
'Cause our love will light the way

Baby, your all that I want
When you're lying here in my arms
I'm finding it hard to believe
We're in heaven
Your lovin' is all that I need
And I found it there in your heart
It isn't too hard to see
We're in heaven

Now our dreams are coming true
Through the good times and the bad
I'll be standing there by you
We're in heaven

Your lovin' is all that I need
And I found it there in your heart
It isn't too hard to see
We're in heaven
We're in heaven

Rabu, 12 Januari 2011

warmness on the soul

Your hazel green tint eyes watching every move I make
And that feeling of doubt, it’s erased
I’ll never feel alone again with you by my side
You’re the one, and in you I confide

And we have gone through good and bad times
But your unconditional love was always on my mind
You’ve been there from the start for me
And your love’s always been true as can be
I give my heart to you
I give my heart, cause nothing can compare in this world to you
And we have gone through good and bad times
But your unconditional love was always on my mind
You’ve been there from the start for me
And your love’s always been true as can be
I give my heart to you
I give my heart, cause nothing can compare in this world toyou

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes Powered by Blogger | DSW printable coupons